ASAL MULA DUSUN SILAP/DUSUN SAUNG NAGO
Ada suatu cerita atau bisa dikatakan kisah nyata mengenai hilangnya sebuah dusun beserta seluruh isinya dan raib dari pandangan kasat mata manusia berganti alam dari alam nyata sebagaimana alam manusia menjadi alam ghaib atau alamnya para Jin dan sejenisnya. Seperti dituturkan kembali oleh beberapa tokoh dan pemangku adat Desa Muara Emil, Bpk. Yahya ( alm ) dan Bpk. Adenan ( alm ). Dialiran sungai Emil tepatnya diwilayah Desa Muara Emil,
Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim yang berjarak lebih kurang 7 km Barat Daya Desa Muara Emil terdapat sebuah perkampungan yang sudah ramai penduduknya, perkampungan ini lebih dikenal dengan nama dusun Saung Naga. Dusun Saung Naga ini dipimpin oleh seorang ketua dusun atau Riye. Menurut cerita dusun Saung Naga ini silap atau menjadi ghaib, karena penduduknya telah melakukan suatu pantangan atau melanggar aturan adat. Adalah pada suatu ketika penduduk dusun Saung Naga ini akan mengadakan upacara sesembahan atau lebih dikenal dengan nama sedekah pedusunan yang biasa rutin dilakukan setiap tahun sekali. Sebelum upacara sedekah pedusunan ini dilakukan, biasanya Riye melakukan semedi atau betarak disuatu tempat guna memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa agar upacara sedekah pedusunan kali ini bisa berjalan dengan lancar dan tidak ada halangan suatu apapun. Dalam tarak nya, Riye mendapat petunjuk bahwa Getuk Gangsa sebagai simbol kekuasaan dan kekuatan Yang Maha Kuasa menghendaki pada sedekah pedusunan kali ini mereka harus menyembelih kerbau sebanyak Dua ekor. Kedua ekor kerbau tersebut harus memenuhi syarat, kerbau pertama harus kerbau putih bertanduk hitam dan kerbau kedua yaitu kerbau hitam bertanduk putih. Setelah di musyawarahkan kepada semua penduduk akhirnya disetujui untuk menyiapkan dan mencari kerbau sebagaimana yang dikehendaki oleh Getuk Gangsa. Untuk diketahui bahwa getuk gangsa ini adalah sejenis kentongan yang terbuat logam campuran antara Besi, Tembaga dan Nikel yang
dipercaya mempunyai kekuatan dan kesaktian, dan sangat dikeramatkan oleh penduduk dusun Saung Naga dikala itu. Dalam usaha mencari kerbau seperti yang dikehendaki oleh Getuk Gangsa tersebut rupanya tidaklah mudah terutama kerbau hitam bertanduk putih, sedangkan kerbau putih bertanduk hitam sudah
didapatkan dan tinggal menunggu untuk disembelih saja. Dengan segala daya dan upaya segenap penduduk dikerahkan untuk mencari kerbau hitam bertanduk putih, namun tetap saja tidak membawa hasil. Hingga pada suatu hari datanglah seorang pemuda yang sudah terbilang bujang lapuk atau bujang tua menghadap kepala dusun atau Riye, dan Si Bujang Tua tersebut
menyampaikan usul bagaimana cara mengatasi kesulitan yang dialami oleh penduduk dusun Saung Naga dalam mencari kerbau Hitam bertanduk Putih. Si Bujang Tua yang masih merupakan penduduk dusun Saung Naga ini dengan diam-diam mengemukakan idenya kepada Riye,, bagaimana kalau tanduk kerbau tersebut dilumuri dengan Kapur sehingga akan terlihat berwarna putih. Setelah berpikir sejenak Riye dusun Saung Naga inipun akhirnya menganggukkan kepala tanda setuju dengan ide yang disampaikan oleh Si Bujang Tua tersebut. Mereka berdua sepakat untuk merahasiakan ide tersebut kepada penduduk . Dan pada keesokan harinya diumumkan kepada seluruh penduduk dusun bahwa kerbau yang dicari mereka selama ini akhirnya bisa didapatkan yaitu seekor kerbau hitam bertanduk putih dan seekornya lagi kerbau putih bertanduk hitam. Dengan muka berseri- seri seluruh penduduk dusun Saung Naga besar-kecil, tua-muda, laki-laki dan perempuan semua ramai berkumpul di Balai Agung untuk menyaksikan acara penyembelihan kerbau sebagai tanda acara sedekah pedusunan akan dimulai. Segala sesuatunya dipersiapkan termasuk Getuk Gangsa yang diyakini mempunyai kesaktian dan kekuatan. Setelah semuanya siap akhirnya kedua ekor kerbau disembelih, dan darahnya dilumurkan ke badan Getuk Gangsa sebagai simbol bahwa permintaan Getuk Gangsa tersebut telah dilaksanakan. Adapun daging kerbau
tadi dibagi-bagikan kepada seluruh penduduk secara merata. Akan halnya dengan Si Bujang Tua tadi, dia dengan harap- harap cemas menunggu pembagian jatah daging kerbau dipondoknya saja, karena dia tidak bisa untuk ke Balai Agung seperti penduduk lainnya karena Si Bujang Tua ini menjaga ladang Padi yang sebentar lagi akan dipanen. Setelah sekian lama menunggu, haripun beranjak sore, namun daging kerbau yang ditunggu-tunggu tak jua datang. Dengan rasa jengkel dan kesal Si Bujang Tua berkata dalam hati, ” oi...inilah kalu jemew sarew, nikdew nian ketehingat jemew ngguk aku.....menew aku ni lah bujang tue pulew,,,,,jehet nian bagien idup ” (oi... inilah kalau orang miskin, tidak akan pernah diingat orang, ditambah lagi aku ini seorang bujang tua, alangkah tragisnya nasip hidup ini ). Dengan sedikit sisa- sisa kesabaran, Si Bujang Tua masih berusaha untuk menunggu pembagian jatah daging, lama ditunggu masih tak jua datang, akhirnya Si Bujang Tua memutuskan untuk mendatangi Balai Agung berharap masih bisa mendapat pembagian jatah daging. Tapi apadaya jangankan daging kerbau, orang-orang pun sudah sepi, sudah kembali kerumah masing-masing yang tinggal cuma Getuk Gangsa. Melihat getuk gangsa ada disitu, dengan diiringi rasa sesal dan kecewa, timbulah niat dalam diri Si Bujang Tua untuk membuka rahasia mengenai kerbau yang sudah disembelih siang tadi. Dengan segenap perasaan yang mendalam Si
Bujang Tua bertutur ” oi,,,getuk gangsa, bese engan ni lah di budi kan new ole jemew dusun ini, besew kebew itam betanduk putih tu, tanduk new tu di cucukhi jemew ngan kapukh, dami kebew putih betanduk itam tu, tanduk new tu di entak jemew ngan akhang ”. ( oi...getuk gangsa, bahwasanya Getuk Gangsa sudah ditipu oleh penduduk dusun Saung Naga, bahwasanya kerbau hitam bertanduk putih, tanduk tersebut sudah dilumuri dengan Kapur, sedang kerbau putih bertanduk hitam, tanduknya di cat dengan arang kayu ) Tak lama berselang, setelah penuturan Si Bujang Tua di hadapan Getuk Gangsa, terjadilah keanehan. Getuk Gangsa yang tadinya hanya sebuah benda mati, berubah wujud menjadi seekor naga raksasa, dengan suara yang nyaring dan membahana naga raksasa tadi melentingkan diri melompat dan terjun kesungai Emil dan membuat sebuah terowongan dibawah sungai yang konon menurut ceritanya, terowongan tersebut bermuara di desa Tanjung Lalang ( kurang lebih berjarak 20km dari lokasi dusun Silap ). Adapun tempat terjunnya sang naga tersebut sekarang dikenal dengan nama Lubuk Saung Naga. Seiring dengan perubahan wujud Getuk Gangsa menjadi naga raksasa, dusun Saung Naga-pun menjadi raib atau lenyap ( silap ) berikut dengan semua penduduk yang ada didalamnya, tak terkecuali Si Bujang Tua. Menurut keterangan tetua-tetua dusun dari Desa Muara Emil, keturunan dari orang-orang Dusun Silap itu masih hidup sampai sekarang, ini dikarenakan sewaktu terjadi peristiwa raibnya dusun tersebut ada beberapa orang penduduk sedang bertandang kedesa tetangga, ada juga yang sedang berada di kebun yang letaknya agak jauh dari dusun silap tersebut. Sehingga beberapa orang tersebut tidak ikut lenyap. Keturunan orang-orang Dusun Silap tersebut kebanyakan bermukim di desa Lubuk Nipis. Masih menurut cerita, walaupun penduduk Dusun Silap sudah berbeda alam, pada sekitar kurun waktu tahun 1942 hingga tahun 1970-an atau sewaktu masih penjajahan Jepang, para pejuang kemerdekaan yang kebetulan sedang berada atau bergeriliya dilokasi Dusun Silap tersebut atau penduduk setempat seperti penduduk desa Muara Emil, Tanjung Agung, Matas, Paduraksa, Pagar Dewa dan sekitarnya masih bisa berhubungan dan berkomunikasi dengan penghuni Dusun Silap. Ini terbukti kalau kita kebetulan sedang berada dilokasi Dusun Silap tersebut, kita membutuhkan alat untuk memasak, atau kita membutuhkan piring dan cangkir kita tinggal bertutur ” oi jemew dusun ini pelah pinjami kami piring/cangkir, kami kelupewen mbewe ndi humah ” ( Wahai orang yang ada didusun ini, tolong pinjamkan kami piring atau cangkir, kami lupa membawa dari rumah ). Tidak lama kemudian apa yang kita inginkan tersebut akan muncul seketika. Akan tetapi setelah alat perabotan tersebut telah
selesai kita gunakan harus kita kembalikan lagi ketempat semula. Tapi sayang hal-hal tersebut sekarang tidak bisa lagi dilakukan, hal ini disebabkan oleh keserakahan dan ketamakan manusia itu sendiri. Banyak alat dan perabotan milik penduduk Dusun Silap tersebut setelah dipinjam tidak dikembalikan lagi. Sehingga mungkin membuat mereka marah, dan tidak mau lagi berhubungan dengan bangsa manusia. Demikian kisah ini kami tuturkan kembali dengan harapan bisa untuk diambil hikmahnya, dan juga untuk memperkaya khasanah cerita rakyat daerah Muara Enim pada khususnya, dan cerita rakyat daerah Sumatera Selatan pada umumnya.
Ada suatu cerita atau bisa dikatakan kisah nyata mengenai hilangnya sebuah dusun beserta seluruh isinya dan raib dari pandangan kasat mata manusia berganti alam dari alam nyata sebagaimana alam manusia menjadi alam ghaib atau alamnya para Jin dan sejenisnya. Seperti dituturkan kembali oleh beberapa tokoh dan pemangku adat Desa Muara Emil, Bpk. Yahya ( alm ) dan Bpk. Adenan ( alm ). Dialiran sungai Emil tepatnya diwilayah Desa Muara Emil,
Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim yang berjarak lebih kurang 7 km Barat Daya Desa Muara Emil terdapat sebuah perkampungan yang sudah ramai penduduknya, perkampungan ini lebih dikenal dengan nama dusun Saung Naga. Dusun Saung Naga ini dipimpin oleh seorang ketua dusun atau Riye. Menurut cerita dusun Saung Naga ini silap atau menjadi ghaib, karena penduduknya telah melakukan suatu pantangan atau melanggar aturan adat. Adalah pada suatu ketika penduduk dusun Saung Naga ini akan mengadakan upacara sesembahan atau lebih dikenal dengan nama sedekah pedusunan yang biasa rutin dilakukan setiap tahun sekali. Sebelum upacara sedekah pedusunan ini dilakukan, biasanya Riye melakukan semedi atau betarak disuatu tempat guna memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa agar upacara sedekah pedusunan kali ini bisa berjalan dengan lancar dan tidak ada halangan suatu apapun. Dalam tarak nya, Riye mendapat petunjuk bahwa Getuk Gangsa sebagai simbol kekuasaan dan kekuatan Yang Maha Kuasa menghendaki pada sedekah pedusunan kali ini mereka harus menyembelih kerbau sebanyak Dua ekor. Kedua ekor kerbau tersebut harus memenuhi syarat, kerbau pertama harus kerbau putih bertanduk hitam dan kerbau kedua yaitu kerbau hitam bertanduk putih. Setelah di musyawarahkan kepada semua penduduk akhirnya disetujui untuk menyiapkan dan mencari kerbau sebagaimana yang dikehendaki oleh Getuk Gangsa. Untuk diketahui bahwa getuk gangsa ini adalah sejenis kentongan yang terbuat logam campuran antara Besi, Tembaga dan Nikel yang
dipercaya mempunyai kekuatan dan kesaktian, dan sangat dikeramatkan oleh penduduk dusun Saung Naga dikala itu. Dalam usaha mencari kerbau seperti yang dikehendaki oleh Getuk Gangsa tersebut rupanya tidaklah mudah terutama kerbau hitam bertanduk putih, sedangkan kerbau putih bertanduk hitam sudah
didapatkan dan tinggal menunggu untuk disembelih saja. Dengan segala daya dan upaya segenap penduduk dikerahkan untuk mencari kerbau hitam bertanduk putih, namun tetap saja tidak membawa hasil. Hingga pada suatu hari datanglah seorang pemuda yang sudah terbilang bujang lapuk atau bujang tua menghadap kepala dusun atau Riye, dan Si Bujang Tua tersebut
menyampaikan usul bagaimana cara mengatasi kesulitan yang dialami oleh penduduk dusun Saung Naga dalam mencari kerbau Hitam bertanduk Putih. Si Bujang Tua yang masih merupakan penduduk dusun Saung Naga ini dengan diam-diam mengemukakan idenya kepada Riye,, bagaimana kalau tanduk kerbau tersebut dilumuri dengan Kapur sehingga akan terlihat berwarna putih. Setelah berpikir sejenak Riye dusun Saung Naga inipun akhirnya menganggukkan kepala tanda setuju dengan ide yang disampaikan oleh Si Bujang Tua tersebut. Mereka berdua sepakat untuk merahasiakan ide tersebut kepada penduduk . Dan pada keesokan harinya diumumkan kepada seluruh penduduk dusun bahwa kerbau yang dicari mereka selama ini akhirnya bisa didapatkan yaitu seekor kerbau hitam bertanduk putih dan seekornya lagi kerbau putih bertanduk hitam. Dengan muka berseri- seri seluruh penduduk dusun Saung Naga besar-kecil, tua-muda, laki-laki dan perempuan semua ramai berkumpul di Balai Agung untuk menyaksikan acara penyembelihan kerbau sebagai tanda acara sedekah pedusunan akan dimulai. Segala sesuatunya dipersiapkan termasuk Getuk Gangsa yang diyakini mempunyai kesaktian dan kekuatan. Setelah semuanya siap akhirnya kedua ekor kerbau disembelih, dan darahnya dilumurkan ke badan Getuk Gangsa sebagai simbol bahwa permintaan Getuk Gangsa tersebut telah dilaksanakan. Adapun daging kerbau
tadi dibagi-bagikan kepada seluruh penduduk secara merata. Akan halnya dengan Si Bujang Tua tadi, dia dengan harap- harap cemas menunggu pembagian jatah daging kerbau dipondoknya saja, karena dia tidak bisa untuk ke Balai Agung seperti penduduk lainnya karena Si Bujang Tua ini menjaga ladang Padi yang sebentar lagi akan dipanen. Setelah sekian lama menunggu, haripun beranjak sore, namun daging kerbau yang ditunggu-tunggu tak jua datang. Dengan rasa jengkel dan kesal Si Bujang Tua berkata dalam hati, ” oi...inilah kalu jemew sarew, nikdew nian ketehingat jemew ngguk aku.....menew aku ni lah bujang tue pulew,,,,,jehet nian bagien idup ” (oi... inilah kalau orang miskin, tidak akan pernah diingat orang, ditambah lagi aku ini seorang bujang tua, alangkah tragisnya nasip hidup ini ). Dengan sedikit sisa- sisa kesabaran, Si Bujang Tua masih berusaha untuk menunggu pembagian jatah daging, lama ditunggu masih tak jua datang, akhirnya Si Bujang Tua memutuskan untuk mendatangi Balai Agung berharap masih bisa mendapat pembagian jatah daging. Tapi apadaya jangankan daging kerbau, orang-orang pun sudah sepi, sudah kembali kerumah masing-masing yang tinggal cuma Getuk Gangsa. Melihat getuk gangsa ada disitu, dengan diiringi rasa sesal dan kecewa, timbulah niat dalam diri Si Bujang Tua untuk membuka rahasia mengenai kerbau yang sudah disembelih siang tadi. Dengan segenap perasaan yang mendalam Si
Bujang Tua bertutur ” oi,,,getuk gangsa, bese engan ni lah di budi kan new ole jemew dusun ini, besew kebew itam betanduk putih tu, tanduk new tu di cucukhi jemew ngan kapukh, dami kebew putih betanduk itam tu, tanduk new tu di entak jemew ngan akhang ”. ( oi...getuk gangsa, bahwasanya Getuk Gangsa sudah ditipu oleh penduduk dusun Saung Naga, bahwasanya kerbau hitam bertanduk putih, tanduk tersebut sudah dilumuri dengan Kapur, sedang kerbau putih bertanduk hitam, tanduknya di cat dengan arang kayu ) Tak lama berselang, setelah penuturan Si Bujang Tua di hadapan Getuk Gangsa, terjadilah keanehan. Getuk Gangsa yang tadinya hanya sebuah benda mati, berubah wujud menjadi seekor naga raksasa, dengan suara yang nyaring dan membahana naga raksasa tadi melentingkan diri melompat dan terjun kesungai Emil dan membuat sebuah terowongan dibawah sungai yang konon menurut ceritanya, terowongan tersebut bermuara di desa Tanjung Lalang ( kurang lebih berjarak 20km dari lokasi dusun Silap ). Adapun tempat terjunnya sang naga tersebut sekarang dikenal dengan nama Lubuk Saung Naga. Seiring dengan perubahan wujud Getuk Gangsa menjadi naga raksasa, dusun Saung Naga-pun menjadi raib atau lenyap ( silap ) berikut dengan semua penduduk yang ada didalamnya, tak terkecuali Si Bujang Tua. Menurut keterangan tetua-tetua dusun dari Desa Muara Emil, keturunan dari orang-orang Dusun Silap itu masih hidup sampai sekarang, ini dikarenakan sewaktu terjadi peristiwa raibnya dusun tersebut ada beberapa orang penduduk sedang bertandang kedesa tetangga, ada juga yang sedang berada di kebun yang letaknya agak jauh dari dusun silap tersebut. Sehingga beberapa orang tersebut tidak ikut lenyap. Keturunan orang-orang Dusun Silap tersebut kebanyakan bermukim di desa Lubuk Nipis. Masih menurut cerita, walaupun penduduk Dusun Silap sudah berbeda alam, pada sekitar kurun waktu tahun 1942 hingga tahun 1970-an atau sewaktu masih penjajahan Jepang, para pejuang kemerdekaan yang kebetulan sedang berada atau bergeriliya dilokasi Dusun Silap tersebut atau penduduk setempat seperti penduduk desa Muara Emil, Tanjung Agung, Matas, Paduraksa, Pagar Dewa dan sekitarnya masih bisa berhubungan dan berkomunikasi dengan penghuni Dusun Silap. Ini terbukti kalau kita kebetulan sedang berada dilokasi Dusun Silap tersebut, kita membutuhkan alat untuk memasak, atau kita membutuhkan piring dan cangkir kita tinggal bertutur ” oi jemew dusun ini pelah pinjami kami piring/cangkir, kami kelupewen mbewe ndi humah ” ( Wahai orang yang ada didusun ini, tolong pinjamkan kami piring atau cangkir, kami lupa membawa dari rumah ). Tidak lama kemudian apa yang kita inginkan tersebut akan muncul seketika. Akan tetapi setelah alat perabotan tersebut telah
selesai kita gunakan harus kita kembalikan lagi ketempat semula. Tapi sayang hal-hal tersebut sekarang tidak bisa lagi dilakukan, hal ini disebabkan oleh keserakahan dan ketamakan manusia itu sendiri. Banyak alat dan perabotan milik penduduk Dusun Silap tersebut setelah dipinjam tidak dikembalikan lagi. Sehingga mungkin membuat mereka marah, dan tidak mau lagi berhubungan dengan bangsa manusia. Demikian kisah ini kami tuturkan kembali dengan harapan bisa untuk diambil hikmahnya, dan juga untuk memperkaya khasanah cerita rakyat daerah Muara Enim pada khususnya, dan cerita rakyat daerah Sumatera Selatan pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar